SEBUAH ide yang mungkin cerdas naik ke permukaan. Banyak
yang menganga, tidak sedikit yang setuju. “Tes ke-perawanan”. Banyak tebakan
tentang apa sebenarnya yang sedang mengendap di alam bawah sadar mereka yang
mengusulkan tes sepeti itu, dan karena hanya tebakan, pasti belum tentu benar.
Di antara tebakan itu adalah bahwa usul tes keperawanan
tersebut menyembul dari niat tulus untuk memperbaiki moralitas seksual anak
muda yang menurut penelitian, dianggap semakin merosot. Sebuah penelitian di
kota-kota besar memang menunjukkan bahwa sekitar 65% siswi sekolah menengah
tidak lagi perawan.
Banyak juga yang meragukan ketulusan para penentu
kebijakan yang mengusulkan tes keperawanan itu dengan alasan, ini semata-mata
upaya panik para penentu kebijakan untuk memperbaiki citranya yang juga sedang
merosot tajam karena banyak anggotanya yang korupsi atau sekadar upaya sesaat
penggalangan suara demi tinjauan jangka pendek. Namun mengukur (mengetes)
ketulusan sama tidak mudahnya dengan mengukur keperawanan. Entah bagaimana jika
rakyat juga mengajukan usulan tes ketulusan bagi Anggota Dewan yang terhormat.
Baiklah, kita asumsikan saja bahwa niat itu tulus, walau
sulit mempercayai ada politisi yang tulus. Lalu mengapa harus tes keperawanan?
Tesnya fisik atau psikis? Mungkin karena bingung, maka pencetusnya menjawab:
“Tesnya psikologis”. Mungkinkah kepe-rawanan diukur dengan ukuran psikologis?
Atau mungkin lebih tepat maksudnya: “Tes kebohongan / kejujuran”. Dengan
demikian, maka sangat mungkin hasilnya adalah persentasi, misalnya: tingkat
keperawanan 75%.
Lalu mengapa tes keperawanan? Mungkin asumsinya
keperawanan adalah tolok ukur moralitas sebuah masyarakat. Mengapa bukan
keikhlasan tolok ukurnya? Jika—katanya—akan dites lewat psikologi, maka tentu
saja keikhlasan juga bisa diukur dengan tes psikologi. So, what?
Keikhlasan adalah kriteria yang cukup universal dan
menentukan jika yang akan diukur adalah moralitas. Keikhlasan mampu menentukan
secara lebih pas seseorang itu baik atau tidak, kan? Sedangkan keperawanan
sangat tidak cukup untuk menentukan seseorang baik atau tidak. Dan keikhlasan
tidak mendiskriminasi kelas masyarakat tertentu, dalam hal ini perempuan.
Lagi pula, tes keperawanan sangat khas perempuan sehingga
ada nuansa diskriminasi gender di sana. Selama ini, perempuan telah menanggung
beban moral yang berat akibat hal-hal seperti ini. Mirip dengan kasus
kejar-mengejar PSK, lalu pria hidung belangnya ke mana?
Bangsa ini adalah bangsa yang panik. Setiap persoalan
ditanggapi dengan solusi yang panik dan karena itu, sering parsial dan tiba
masa tiba akal dan tidak mengakar. Parahnya, solusi yang ditawarkan kepada
setiap persoalan yang ada sering merupakan solusi yang menguntungkan satu pihak
dan merugikan pihak yang lain.
Jika memang persoalan moralitas seksual dianggap ada pada
remaja usia sekolah, maka solusi yang ditawarkan seharusnya lewat sekolah atau
institusi pendidikan lainnya. Pemerintah seharusnya mening-katkan dukungannya
kepada dunia pendidikan yang bermutu agar anak-anak usia sekolah meyakini bahwa
dunia pendidikan adalah dunia yang menjamin masa depan mereka sehingga
meminimalisasi perhatian kaum muda terhadap hal-hal lain selain pendidikan,
termasuk tentang seksualitas amoral.[ Muid N]